Jumat, 25 Mei 2012
Sinopsis Cerpen
Judul
Buku : Dua Dunia
Pengarang : Nh. Dini
Judul Cerpen :
Istri Prajurit
Terbitan : 2002
Jumlah
Halaman : 114
Cetakan : 3
SINOPSIS CERPEN
Aku bertanya kepadanya, di mana anaknya? Itulah kata-kata yang ku ucapkan
ketika ia keluar menemuiku di pendapa sebuah rumah berbentuk kuno. Matanya kuyu
memandangku. Aku tersenyum ada keraguan di hatiku hendak mengatakan ketidak
mengertianku atas bicaranya. Lalu kami berbicara hal-hal apa saja mengenai
diriku selama ini, tapi percakapan itu kadang-kadang terhenti dengan cara yang
kaku.
Dia menundukan kepala sesudah menetang mataku agak lama, kemudian kekakuan
terasa lagi menyelinapi antara aku dan dia. Lama sekali kami saling diam,
nampak olehku kegelisaan yang tersilap diwajahnya yang kurus dan pucat. Dia
tetap tak memandang kepadaku. Cuma kadang-kadang saja ditegakkannya kepalanya
memandang keluar. Aku mencoba memecah dinding kekakuan saat itu. Dia tetap tak
memandang kepadaku. Sekali lagi kudengar keluhannya, kali ini memberat. Dia pun
berkata bahwa semua orang sedang menyalahkan dirinya dan mengutuk dirinya dan
dia pun berharap agar aku tidak begitu. Digigitnya bibirnya, kesedihan yang tak
terderita membayangi seluruh wajahnya. Aku tertegun sejenak. Dia sebentar
memandang aku, lalu mengalihkan pandangannya keluar lagi.
Ningsih inilah yang dulu menjadi istri Garjo yang merupakan seorang
prajurit. Tiga setengah tahun yang lalu ia kawin. Kedudukan Garjo tidak tinggi,
bukan sesuatu jabatan penting yang mendapat perhatian masyarakat, karena Garjo
Cuma mendapat sebutan dari bapak Ningsih seorang serdadu yang sewaktu-waktu
berangkat perang dan menyerahkan nyawanya ketangan musuh. Semua sudah
mengingatkan Ningsih tapi Ningsih tidak mempedulikannya, baginya tak akan ada
perang lagi di negara ini. Pikirnya dipenuhi kedamaian cinta yang menghendaki
kedamaian pula diantara semua orang. Kemudian dia diam memandang kepadaku, aku
menatapnya dengan tajam.
Garjo meninggal dunia ketika ditugaskan di pos Slawi, daerah tegal dan
meninggalkan seorang anak nanik namanya. Ningsih mengetahui itu dari telegram.
Kebiasaan hidup senang dan ditolong dalam menyelesaikan segala sesuatu membikin
dia tidak tahu apa yang mesti dikerjakan sepeninggalan Garjo. Dia masi di rumah
itu juga, tempat yang disewahkan Garjo untuk mereka, sampai kemudian beberapa
bulan kemudian ia pergi ke Surabaya.
Aku mencuri pandangan Ningsih, tapi dia masi tetap menghindarkan paduan
mataku dan dia masi tetap diam pula. Aku memberi saran kepada Ningih agar ia
mencobah untuk hidup sendiri dengan tenaganya, apalagi ia punyai ijazah untuk
bekerja di kantor dan kawan-kawan Garjo pasti bisa membantunya. Tapi ia takut
memulai itu semua, suaranya yang datar rendah menusuk perasaanku, dan aku
menghindari pandangannya sebisaku. Aku tersenyum dan mencoba berkata jujur. Aku
merasa malu kepada diriku sendiri. Aku mengingkari cinta karena mengkhawatirkan
pandangan orang lain. Dan aku merasa terguga oleh kesombonganku sendiri, lalu
aku lari dengan kesombongan itu. Akhirnya, aku sadar bahwa itu bukanlah
kesombongan, melainkan suatu kesadaran akan harga dirikusebagai perempuan yang
mau mengeluarkan tangan dalam kerja bermasyarakat.
Kubayangkan bagaimana kebingungan ketika Garjo gugur. Kematian suami yanag
menjadi penegak sejak ia keluar dari lingkungan dinding keluarganya. Dia
satu-satunya yang bisa kauajak bicara tentang hal-hal yang lucu dalam dinding
ini. Dia mengangkat wajahnya mencoba menentang mataku, ada sesuatu yang hendak
dikatakan kurasa. Aku memadangnya tenang dan aku tak berani berbuat apa-apa.
Juga aku tak berani menyebut kata ketidak hadiran Nani diantara kami.
Kutundukan kepalahku, dan kupejamkan mataku menahan kesesakan dadaku. Terlalu banyak yang mau kukatakan, serasa
tersekat saja dalam keronkongan. Senyum bibir Nanik masi menggaris dalam
ingatanku.
Tibah-tibah suaranya mengerasa penuh semangat dan berkata bahwa dia bisa
seperti aku dan dia ingin pergi bersamaku pulang kejakarta. Suaranya yang
jernih dan tegas.
Sinopsis Cerpen
Judul
Buku : Dua Dunia
Pengarang : Nh. Dini
Judul Cerpen :
Penemuan
Terbitan : 2002
Jumlah
Halaman : 114
Cetakan : 3
SINOPSIS CERPEN
Sepi saja sore itu, kawan-kawanku tak ada yang datang menengokku. Aku
paling benci kepada rasa sepi, kemarin kawan-kawanku ramai cerita biara
kepadaku. Tentang sekolah kam, tentang guru-guru kami yang suka menyombongkan
dirinya, dan kecelakaan yang menimpaku beberapa hari lalu. Aku sendiri tak
ingat apa-apa waktu itu, Aku hanya tahu bahwa waktu itu pukul satu siang. Aku
bersama kawan-kawanku keluar gedung sekolah, dan di depan gedung itulah rupanya
kecelakaan terjadi. Kupandang kaki ku yang digantung agak tinggi dari letak
tubuhku. Aku pun berpikir jangan-jangan Aku tak akan dapat berjalan lagi.
Kucobah mnggerakan kakiku yang sakit, tapi tidak dapat. Alangkah banyak aku
mendapat rugi karena kecelakan ini. Aku tak bisa sekolah, tak dapat ikut
meneruskan latihan-latihan kesigapan dalam kepanduan dan perkumpulan lain.
Segala kesalahan kutimpakan kepada sopir prahoto itu kini. Aku tidak bersalah.
Aku terkejut dan menoleh, pandanganku tertumpuk pada mata orang yang berdiri
agak arah kakiku. Kaku dan redup mata itu. Seredup langit di luar jendela. Dia
mendekati aku, suaranya makin rendah, bibirnya gemetar gugup. Jadi inilah sopir
itu. Aku masi tetap diam, kupandang terus diakurus dan pucat. Akhirnya dia
mengeluh dalam, mengeluh seperti kepada dirinya sendiri. Dia merasa menyesal
dan dia memandang kelur, ke halaman rumah sakit dengan pandangan yang kosong.
Dia meminta maaf kepada saya yang masi hidup, karena menurutnya dia tidak
mungkin meminta maaf kepada orang sudah meninggal. Wajahnya ketakutan.
Aku merasa telah menyakitinya, menambah deritanya karena penyesalan itu.
Aku mencoba tersenyum kepadanya, dan aku tak tahu bagaimana bentuk senyumanku
itu. Matanya tanpak merah, memandang kepadaku penuh kesungguhan. Aku terdiam
oleh tangisannya itu. Dia meneruskan bicara dan aku mendengar. Dia bercerita
bahwa pada malam itu ada pertempuran yag sangat maju kedaerah batas kota.
Suaranya lemah seakan berbicara hanya untuk didengar sendiri. Dia diam dan aku
tetap memperhatikannya. Langit di luar tetap muram. Angin dingi sudah berubah
hujan. Tibah-tibah dia berkata, bahwa banyak dosa yang telah ia perbuat.
Sayapun berkata mengapa dia melarikan diri. Aku tahu dia lari tak mau ditangkap
polisi sewaktu kecelakaan itu. Kawan-kawanku menceritakan hal ini kepadaku
kemarin.
Aku terkejut oleh ini, tiba-tiba aku merasa ngeri memandang kepadanya.
Matanya tajam memandang kepadaku. Dia pun berbicara bahwa kesalahan tidak dapat
diperbaiki dengan ucapan maaf. Dia berkata bahwa dia tidak bisa memaafkan
dirinya lagi. Dia memandangku dengan tajam. Matanya penuh nyalah kebencian.
Sekali lagi aku merasa ngeri menentangnya. Kepalaku makin pening. Dan kurasa
pandanganku berputar-putar. Aku pejamkan mataku. Kudengar suara pintu.
Sinopsis Cerpen
Judul
Buku : Dua Dunia
Pengarang : Nh. Dini
Judul Cerpen :
Jatayu
Terbitan : 2002
Jumlah
Halaman : 114
Cetakan : 3
SINOPSIS
CERPEN
Cerpen Jatayu, menceritakan tentang kehidupan seorang Prita yang mempunyai
penyakit yang menggerogoti tubuhnya tapi mempunyai keinginan bisa terbang
terbang seperti elang.
Pada mulanya sewaktu ia lahir, ia sangat diharapkan oleh bapaknya. Ia juga
menjadi idaman dan harapan bapaknya agar menjadi manusia yang baik sehingga ia
diberi nama Prita. Tapi nama itu terlalu berat, tak terdukung oleh gadis itu
yang menyebapkan Prita sakit keras setelah berumur enam belas tahun. Prita
dikeluarkan dari sekolah, waktu itu ia baru kelas dua esempe. Terlalu jauh
pikirannya untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolah, otaknya sudah
digerogoti kuman-kuman penyakit. Kerjanya saat itu antara lain Cuma duduk
bermain-main dengan wayang. Kadang-kadang ia membentak orang yang bersepeda
melalui depan rumahnya. Sesudah itu, satu senyuman memenuhi wajahnya yang
lembut.
Di rumah Prita tak hendak diam menganggur. Dia mainkan wayang bapaknya, dan
paling dia hafal adalah lakon-lakon Ramayana. Cita-cita semua yang dikandung
ialah hendak menjadi penerbang. Seharian prita duduk saja di atas peti wayang
ketika dia mendengar bapaknya hendak menjual wayang itu. Dia kemudian menangis
di atas peti wayang dan mengeluarkan wayang satu-satunya yaitu wayang Jatayunya.
Akhirnya Jatayu tetap tergantung di rumah, di papan arah kepala amben tempat
tidur Prita. Pada injakan ke tingkat umur yang makin jauh dia juga seperti
manusia-manusia lain, merasakan rinduk ksih seorang sahabat. Mula-mula ia rindu
kepada kakanya yang sudah tiada, kemudian kepada setiap pem,uda yag lewat di
depan rumahnya.
Ada seseorang yang sangat memperhatikan dia. Satu sore, Prita keluar dari
rumah memakai celan tiga perempat warna hijau. Lalu degan suara keras, dia
membentak orang yang sedang berada di sana. Alangkah terkejutnya dia karena
orag itu adalah pemuda yang telah begitu sering berpandangan dengan dia. Sejak
itu prita dan pemuda itu saling dekat. Sang pemuda sering pula mengajak Prita
jalan-jalan atau bersepeda keluar kampung. Siang itu, Prita dan pemuda itu
berlindung di bawah atap gereja oleh serangan hujan. Prita merenung kejalan
besar. Tak ada kegelisaan yang membayangi wajahnya, air dan angin yang
mengabuti jalan itu tak menarik bagi mereka. Prita mengeluarkan suara bahwa ia
ingin terbang.
Akhir-akhir itu, Prita mengamati sebuah
benda yang dibawah oleh teman bapaknya skuter namanya. Tibah-tibah dia diserang
satu keinginan yang tak bisa lagi ditahaya, dia mau menaikinya. Segala keasikan
lain sudah dilepaskannya, dia tidak lagi peduli kepada Jatayu. Senjak gerimis
memenuhi hari itu, Prita memandang dengan mata yang selembut biasanya. Terpaku
pandangannya pada benda yang ada didepannya. Lalu berlahan tapi pasti tangannya
memegan kemudi sekuter. Bapak dan tamunya sedang minum kopi di srambi belakang.
Prita pura-pura diam di kamarnya. Prita sudah naik sekuter sudah berjalan
keluar kampung tanpa menoleh kepada siapapun yang ditemuinya dijalan.
Dia benar-benar bersikap tegak seperti juru terbang di belakang kemudi
pesawatnya, dia naik dan masi terus naik. Jalan yang lengang memberi keluasan
kepada Prita buat tetap bermimpi di atasa awa dan angin. Prita makin tak bisa
lagi menguasai kesadarannya, dan sambil berteriak ia mengatakan bahwa ia
terbang dan melayang di atas awan dan angin. Rumah-rumah serta warung-warung di
jalan bahwanya tanpka kecil. Pada desakan rasa yang tak tertahan lagi, prita
merentangkan kedua tangannya kemudian dilepaskan. Dia menirukan burung-burung
terbang betul-betul dengan sayap terentag kedua sisi. Tapi angin dari arah kiri
yang menyentuhya tiba-tiba membuat satu goyangan. Prita jatuh, pecah dan remuk
seluruh anggota tubuhnya seperti Jatayu jatuh kena senjata Rahwana. Jatayu masi
tetap tergantung di atas ambennya, menunggu buat bersama bermain. Tapi Prita
tak bangkit lagi. Dia mati seperti tokoh wayang yang dieratinya sejak kecil
mula. Gerimis terus turun hingga malam dan esoknya.
Sinopsis Cerpen
Judul Buku :
Monumen
Pengarang : Nh. Dini
Judul
Cerpen : Si Pencit
Terbitan : 2002
Jumlah
Halaman : 10
SINOPSIS
CERPEN
Gito menyeret kaki melangkahi tas, bungkusan dan kardus yang bergeletakan
dinatara tempat duduk. Seluruh terminal mulai mengenal bayangan Gito sejak awal
tahun. Gito anak Mak yang dikatakan jatuh dari perut dan diterima ke dalam
peluka Paryah. Mak meninggal ketika melahirkan Gito, Gito kemudian diasuh oleh
Paryah dan dia mejadi boneka dan satu-satunya yang tinggal dirumah. Enam
saudara lainnya terpencar menjadi buruh di kota.
Antara tetangga, dukun, Bapak dan Paryah, Gito tumbuh melewati bulan-bulan
petama. Merekalah yang menyusun campuran makanan bayi. Dukun pulalah yang
pertama mengetahui bahwa satu telapak kaki si anak tidak lurus mendatar.
Mula-mula rasa kecewa dan kecemasan mencekam hati Bapak dan Paryah. Tetapi
segera melumat oleh wajah Gito bocah yang selalu cerah. Dia terus tumbuh,
menjadi asuhan semua orang, termasuk dua saudaranya lelaki yang pulang dari
kota. Hari berlalu, gito mulai belajar berjalan. Tak sekilas pun dia tampak
terganggu oleh kakinya yang cacat. Lalu gito mendapat tambaha nama Pengkor
karena kelahirannya yang cepat tampa ada dukun.
Lalu tibahlah hari penemuan, Gito dapat duduk di atas pelana. Bumi yang
tidak rata bagi kaki cacat ternyata tidak merupakan masalah. Anak berumur
delapan tahun tumbuh pesat, dia meninggi dan meninggi mendahului umurnya dan
dia pun mendapat tambahan julukan Gito Pencit. Gito diajr mengerjaka segalanya.
Gito menjadi dewasa terlalu cepat, dia berkerja keras melakukan apa saja. Dan
sewaktu pulang membawa sisir, bedak buat Paryah tetapi ketika pulang diatidak menemukan
Paryah. Paryah kata Bapaknya terbujuk oleh kenalan dari pabrikdan dan dia
berangkat kemaluku sebagai tenaga kerja tani. Bapak terpaksa melepaskannya. Paryah
belum perna meninggalakan dusun dan baru kali itu Paryah meninggalkan
Gito. Gito memutuskan meninggalkan
perkerjaannya sebanagi tukang becak, selama setahun dia dikota dia semakin
mengertia apa itu kehidupan. Dan Gito berkaki tidak rata juga mengenal hakekat
pergaulan antara lelaki-perempuan. Di pasar kota, kalangannya memperkenalkan
dia kepada perempuan-perempuan yang bisa dijadikan pasangan sesaat tanpa
mempedulikan kakinya rata atau tiodak.
Sekarang dia tetap berada di pasar dari subuh hingga tengah hari. Jam tiga
atau setengah empat, Gito bangun mencari truk bisa ditumpangi menuju terminal.
Dia menjinjing kotak berisi aneka merek gula-gula dan minyak gosok. Inilah
kerjaannya di stasiun bis. Gito masuk ke dalam bis, Gito disuruh turun oleh
kernet bis dengan galak karena bisnya mau berjalan sambil menghina kaki Gito.
Kernet geram seakan-akan kejengkelannya hendak dilampiaskannya pada pintu.
Hari itu dia menedengar berita dari mulut ke mulut bahwa petugas pabrik
yang menjadi calo pekerja wanita ketahuan naik Colt jurusan Juana. Diseberang
ada seseorang yang melambai untuk mengajak Gito pulang. Gito turun ke aspal,
melenggang meliuk. Kotak dagangan tertekan ke dadanya. Matanya bersinar aneh.
Gigi-gigi digegatkan jangan sampai polisi mendahului menangkap orang itu, katanya
di dalam hati. Bagi Gito masalahnya adalah Paryah. Dengan gesit, Gitu naik bis
jurusan Rembang.
Sinopsis Cerpen
Judul Buku :
Monumen
Pengarang : Nh. Dini
Judul Cerpen : Beduk
Terbitan : 2002
Jumlah
Halaman : 10
SINOPSIS
CERPEN
Cerpen Beduk, menceritakan tentang kekecewaan dan ketidak relaan seorang Syahdi
yang sering disapa oleh masyarakat desa sebagai Pak Lurah, tentang hilangnya
beduk peninggalan dari zaman para wali yang diakbitkan terpilihnya Lurah baru
yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan kekayaan.
Awalmulanya akhir-akhir itu Syahdi yang sering dipanggil Pak Lurah oleh
masyarakat desa semakin merenungkan zaman-zaman yang telah dilewati, tidak
banyak yang disesalinya. Jika Pak Lurah termenung dan Indun melihatnya, wanita
itu tahu mengundurkan diri. Dengan penuh rasa terimakasih, Pak Lurah menyadari
bahwa pengertian itu tidak dimiliki oleh semua istri. Indun tidak merengek atau
mendesak. Melalui sikap atau satu dua kalimat, istri itu memperlihatkan bahwa
dia tahu suaminya sedang berusaha mengurai jeratan masalah. Indun merupakan
istri Syahdi yang ia sukai sewaktu Indun dan kakaknya dicalonkan sebagai
instrinya ketika ia dicalonkan sebagai Pak Lurah.
Di depan rumah Pak Lurah, masjid kampung menempati tengah-tengah empat
lorong yang berjuluran menghubungkan empat penjuru desa. Ketika Syahdi masi
anak-anak dia sudah melihat masjid berdiri gagah di situ. Sesuai dengan
keterbukaannya, selain tempat berjamaah orang sekampung, dia juga menerima musafir
yang memerlukan tempat sesudut buat bermalam. Dan beduknya, sungguhlah hebat.
Kulit yang terentang tempat menerima pukulan sudah dua kali dibalik sebelah
luar. Tetapi itu tidak mengurangi kewibawaan yang terpancar dari kenyaringan
suaranya. Di masa mudah, Pak Lurah menyaksikan suatu kali perbaikan gendang
tersebut. Perbaikan dilakukan di serambi dan halaman masjid. Selain beduk
besar, masjid juga mempunyai beduk lain berbetuk ramping. Panjangnya satudepa,
beduk itu digantung berdiri disamping beduk besar.
Ketika tiba zaman pendudukan jepang, beduk besar hampir dipaksa
meninggalkan rumahnya. Itu dilaksanakan atas nama pejabat militer yang
berkuasa. Pertama kali ketika beduk sudah ditaruh di atas gerobak, roda alat pengangkut
itu mendadak menggelinding lepas. Beduk dikembalikan naik ke gantungannya.
Ketika kalinya, pejabat militer itu sendiri yang masuk kampung untuk menaikan
kedalam truk tibah-tibah tali rantas dan beduk meluncur berlumuran debu
kampung. Pekan itu juga Pak Lurah mendengar kabar bahwa pejabat militer yang
sama dipindahkan ke kota lain. Cukup lama Pak Lurah berbangga bisa meneruskan
tradisi mengumandangkan gelagar suara benda itu keseluruh kampung. Tetapi tidak
semua orang menyukai tradisi. Lebih-lebih jika mendadak ada lurah lain karena
zaman berganti nama Orde Baru.
Syahdi tidak terpilih menjadi lurah. Ia meneruskan tetap tinggal di tempat
lain dan ia diterjunkan dari pemerintah daerah, tibah-tibah menjadi lurah
disana. Meskipun warga kampung tetap memaggil Syahdi Pak Lurah, dia sudah
tersepak dari pengaturan kampung yang dia cintai. Dan pukulan beduk yang
meinggalakan dengung khusyuk namun akrab pun menghilang. Pada suatu hari, beduk
besar diturunkan menghilang entah ke mana. Kemudian tersebar berita bahwa lurah
yang baru membikin rumah baru. Bahwa dia membeli kendaraan buat dirinya sendiri
dan empat anaknya yang sudah besar. Semua dibayar lunas.
Indun menegur Pak Lurah, bahwa Pak Lurah masi memikirkan hal itu lagi,
dan Indun pun berkata bahwa semua yang terjadi direlahkan saja dan Indun pun
berkata bahwa lurah baru nantinya pati kualat. Pak Lurah tersenyum membalas
pandang istrinya. Dia tidak menyesal memilih Indun yang berani menatap matanya.
Langganan:
Postingan (Atom)