Judul
Buku : Dua Dunia
Pengarang : Nh. Dini
Judul Cerpen :
Istri Prajurit
Terbitan : 2002
Jumlah
Halaman : 114
Cetakan : 3
SINOPSIS CERPEN
Aku bertanya kepadanya, di mana anaknya? Itulah kata-kata yang ku ucapkan
ketika ia keluar menemuiku di pendapa sebuah rumah berbentuk kuno. Matanya kuyu
memandangku. Aku tersenyum ada keraguan di hatiku hendak mengatakan ketidak
mengertianku atas bicaranya. Lalu kami berbicara hal-hal apa saja mengenai
diriku selama ini, tapi percakapan itu kadang-kadang terhenti dengan cara yang
kaku.
Dia menundukan kepala sesudah menetang mataku agak lama, kemudian kekakuan
terasa lagi menyelinapi antara aku dan dia. Lama sekali kami saling diam,
nampak olehku kegelisaan yang tersilap diwajahnya yang kurus dan pucat. Dia
tetap tak memandang kepadaku. Cuma kadang-kadang saja ditegakkannya kepalanya
memandang keluar. Aku mencoba memecah dinding kekakuan saat itu. Dia tetap tak
memandang kepadaku. Sekali lagi kudengar keluhannya, kali ini memberat. Dia pun
berkata bahwa semua orang sedang menyalahkan dirinya dan mengutuk dirinya dan
dia pun berharap agar aku tidak begitu. Digigitnya bibirnya, kesedihan yang tak
terderita membayangi seluruh wajahnya. Aku tertegun sejenak. Dia sebentar
memandang aku, lalu mengalihkan pandangannya keluar lagi.
Ningsih inilah yang dulu menjadi istri Garjo yang merupakan seorang
prajurit. Tiga setengah tahun yang lalu ia kawin. Kedudukan Garjo tidak tinggi,
bukan sesuatu jabatan penting yang mendapat perhatian masyarakat, karena Garjo
Cuma mendapat sebutan dari bapak Ningsih seorang serdadu yang sewaktu-waktu
berangkat perang dan menyerahkan nyawanya ketangan musuh. Semua sudah
mengingatkan Ningsih tapi Ningsih tidak mempedulikannya, baginya tak akan ada
perang lagi di negara ini. Pikirnya dipenuhi kedamaian cinta yang menghendaki
kedamaian pula diantara semua orang. Kemudian dia diam memandang kepadaku, aku
menatapnya dengan tajam.
Garjo meninggal dunia ketika ditugaskan di pos Slawi, daerah tegal dan
meninggalkan seorang anak nanik namanya. Ningsih mengetahui itu dari telegram.
Kebiasaan hidup senang dan ditolong dalam menyelesaikan segala sesuatu membikin
dia tidak tahu apa yang mesti dikerjakan sepeninggalan Garjo. Dia masi di rumah
itu juga, tempat yang disewahkan Garjo untuk mereka, sampai kemudian beberapa
bulan kemudian ia pergi ke Surabaya.
Aku mencuri pandangan Ningsih, tapi dia masi tetap menghindarkan paduan
mataku dan dia masi tetap diam pula. Aku memberi saran kepada Ningih agar ia
mencobah untuk hidup sendiri dengan tenaganya, apalagi ia punyai ijazah untuk
bekerja di kantor dan kawan-kawan Garjo pasti bisa membantunya. Tapi ia takut
memulai itu semua, suaranya yang datar rendah menusuk perasaanku, dan aku
menghindari pandangannya sebisaku. Aku tersenyum dan mencoba berkata jujur. Aku
merasa malu kepada diriku sendiri. Aku mengingkari cinta karena mengkhawatirkan
pandangan orang lain. Dan aku merasa terguga oleh kesombonganku sendiri, lalu
aku lari dengan kesombongan itu. Akhirnya, aku sadar bahwa itu bukanlah
kesombongan, melainkan suatu kesadaran akan harga dirikusebagai perempuan yang
mau mengeluarkan tangan dalam kerja bermasyarakat.
Kubayangkan bagaimana kebingungan ketika Garjo gugur. Kematian suami yanag
menjadi penegak sejak ia keluar dari lingkungan dinding keluarganya. Dia
satu-satunya yang bisa kauajak bicara tentang hal-hal yang lucu dalam dinding
ini. Dia mengangkat wajahnya mencoba menentang mataku, ada sesuatu yang hendak
dikatakan kurasa. Aku memadangnya tenang dan aku tak berani berbuat apa-apa.
Juga aku tak berani menyebut kata ketidak hadiran Nani diantara kami.
Kutundukan kepalahku, dan kupejamkan mataku menahan kesesakan dadaku. Terlalu banyak yang mau kukatakan, serasa
tersekat saja dalam keronkongan. Senyum bibir Nanik masi menggaris dalam
ingatanku.
Tibah-tibah suaranya mengerasa penuh semangat dan berkata bahwa dia bisa
seperti aku dan dia ingin pergi bersamaku pulang kejakarta. Suaranya yang
jernih dan tegas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar